RSS

Demisioner lagi

Bismillah.
Don’t say it is a farewell, it is just we walk in different path. Let’s meet again, soon J
Ini hari ke tiga dengan predikat sebagai alumni. Ternyata bukan jadi lebih mudah, malah jadi lebih berat. Tiap malem mikirin gimana ksei ke depannya, pengurus selanjutnya bakal militan atau nggak.
Yahh tiga hari yang lalu, lpj diterima, resmi demisioner setelah dua tahun susah senang di rois. Banyak pengalaman yang didapet. Tapi kalo inget lpj kemaren, rasanya maluuu banget, I am not good at anger management ketika orang yang disayang disudutkan. Mohon maaf untuk semua alumni atas perkataan kasar dan nada bicara yang meremehkan, sungguh maksud hati tidak demikian :D

Kepada Ibunda

Berat jemari bergerak di atas tuts-tuts keyboard. Bukan karena tak tahu harus menulis apa, tapi karena terlalu banyak memori berlarian dalam kepala, emosi meletup-letup yang segera ingin berubah jadi kata-kata.
Mereka bilang sebentar lagi Hari Ibu dan bila kau berbakti maka kau buatkan puisi untuk Ibumu, dengan setangkai mawar merah merekah, boleh juga dengan satu kue tart penuh lilin warna-warni tanda cintamu untuknya. Ah! Hari Ibu, sampai detik ini pun aku tak kunjung mengucap selamat padanya.
Sebab aku benci Ibuku. Bukan, Ia bukan Ibuku. Ia makhluk buas yang dulu dijanjikan Tuhan sebagai malaikatku.
Sebab aku benci Ibuku, yang mencuriku dari singgasana indah ke dunia penuh luka, penuh duka.
Ya. Aku benci Ibuku.

Demisioner?


Siang tadi dapet wa dari syahid, isinya ga panjang-panjang amat dan juga ga pendek-pendek amat, singkat, jelas, padat. Terharu banget bacanya, sedih, nangis sendiri. Ga kerasa udah satu tahun bareng-bareng di ksei, sama susi juga. Bertiga syuro ga genah, singut-singutan sama pak ketua yang selalu pesimis.

Dari satu progja ke progja lain, akhirnya ngerti karakter masing-masing. Dari syuro pertama sampe sekarang, akhirnya ngerti kalo susi sama syahid itu kompak banget, sama-sama ga bisa dateng on time. Maka jadilah rindy, yang setia nunggu syuro yang ngaret.

Dari Ujung Telepon


Aku duduk berjam-jam di depan meja telepon di ruang tamu rumah pak Lurah. Ah Beliau pasti mengira betapa menderitanya gadis rantau ini. Homesick nama kerennya, tapi orang-orang di desa ini pasti juga tak tahu artinya.
“Belum ada telepon, Nduk?
“Eh ada Bapak, belum nih pak. Sudah capek nunggunya.”
Pak Lurah tertawa geli melihatku yang uring-uringan sepanjang hari, menanti kabar dari sang pujaan hati yang sudah hampir empat puluh hari ini tak kujumpai. Program KKN di kampusku membawaku kemari, desa tanpa sinyal selain telepon kabel milih sesepuh. Maka jadilah kami mengular di depan rumah Beliau untuk berhubungan dengan keluarga yang jauh di rumah.
“Saya pulang sajalah Pak, sudah larut malam. Tidak enak dengan Bapak, Bapak pasti ingin istirahat.”
“Tak apa, Nduk. Bapak tahu perasaanmu. Bapak kan pernah muda juga. Pernah galau juga seperti kamu sekarang.”

Please Terima Gue


Loly berjalan ke arahku dengan muka murung seperti biasanya. Aku tahu benar apa yang tejadi padanya, sama seperti hari-hari kemarin.
“Gue bosen disakitin terus-terusan.”
“Ya tinggal diputusin aja loh Lol, ngga usah ribet-ribet nangis segala. Tinggal putus terus selesai deh semua masalah lo. Ngga ada murung-murungan lagi.”
“Aahh ribet itu, tau sendiri gua udah kesengsem banget sama dia.”
“Yaudah kalo gitu. Dinikmatin aja.”